Selasa, 29 Juni 2010

"Macam-macam Ciuman"

Perlu sekali kita mengenal jenis-jenis ciuman dari pembahasan berikut ini. Semoga bermanfaat.

«أقسام التقبيل»

Jenis-Jenis Ciuman

ذكر بعض الفقهاء أن التقبيل على خمسة أوجه : قبلة المودة للولد على الخد ، وقبلة الرحمة لوالديه على الرأس ، وقبلة الشفقة لأخيه على الجبهة ، وقبلة الشهوة لامرأته أو أمته على الفم ، وقبلة التحية للمؤمنين على اليد.
وزاد بعضهم قبلة الديانة للحجر الأسود.

Sebagian pakar fikih menyebutkan bahwa ciuman itu ada lima jenis.
a. Ciuman cinta, itulah ciuman kepada anak di pipinya.
b. Ciuman belas kasihan, itulah ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
c. Ciuman sayang, itulah ciuman kepada saudara di dahinya.
d. Ciuman birahi, itulah ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.
e. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.

Sebagian pakar fikih menyebutkan adanya ciuman jenis keenam yaitu ciuman syar’i yang ditujukan kepada hajar aswad. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Hasyiah Ibnu Abidin 5/246 dan al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan 272].

« التقبيل الممنوع»

Ciuman yang terlarang

«أ – تقبيل الأجنبية»
اتفق الفقهاء على عدم جواز لمس وتقبيل المرأة الأجنبية ولو للخطبة.

ciuman untuk wanita ajnabiah (bukan istri dan bukan mahram)

Seluruh pakar fikih bersepakat bahwa sentuhan dan ciuman kepada wanita ajnabiah adalah terlarang meski dalam rangka meminang wanita tersebut [Ibnu Abidin 5/233, 234 dan 237, Jawahir al Iklil 1/275, al Qalyubi 3/208, Nihayah al Muhtaj 6/190, Kasyaf al Qana’ 5/10 dan al Mughni 6/553 dan halaman selanjutnya].

«ب – تقبيل الأمرد»
الأمرد إذا لم يكن صبيح الوجه فحكمه حكم الرجال في جواز تقبيله للوداع والشفقة دون الشهوة ، أما إذا كان صبيح الوجه يشتهى فيأخذ حكم النساء وإن اتحد الجنس ، فتحرم مصافحته وتقبيله ومعانقته بقصد التلذذ عند عامة الفقهاء.

Ciuman kepada amrad (laki-laki yang tidak berjenggot)

Jika amrad tersebut bukan ‘baby face’ maka statusnya sebagaimana umumnya laki-laki. Sehingga seorang laki-laki boleh menciumnya dalam rangka mengucapkan kata perpisahan karena hendak bepergian atau dengan maksud mengungkapkan rasa sayang asalkan tanpa birahi.
Namun jika amrad tersebut ‘baby face’ yang menimbulkan syahwat maka statusnya sebagaimana wanita bagi laki-laki yang lain. Sehingga seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan, mencium dan memeluknya jika dengan maksud mencari ‘kenikmatan’. Demikian pendapat mayoritas ulama pakar fikih. [Ibnu Abidin 5/233, al Zarqani 1/167, Jawahir al Iklil 1/20, 275, al Jamal 4/126, Hasyiah al Qalyubi 2/213 dan Kasyaf al Qana’ 5/12-15].

«ج – تقبيل الرجل للرجل ، والمرأة للمرأة»
لا يجوز للرجل تقبيل فم الرجل أو يده أو شيء منه ، وكذا تقبيل المرأة للمرأة ، والمعانقة ومماسة الأبدان ، ونحوها ، وذلك كله إذا كان على وجه الشهوة ،

Laki-laki mencium laki-laki, perempuan mencium sesama perempuan

Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk mencium mulut, tangan ataupun anggota badan sesama laki-laki jika dengan syahwat. Demikian pula ciuman, pelukan dan sentuhan badan di antara sesama perempuan jika diiringi syahwat.

وهذا بلا خلاف بين الفقهاء لما روي « عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه : نهى عن المكامعة وهي : المعانقة ، وعن المعاكمة وهي : التقبيل » .

Hal di atas adalah hukum yang tidak diperselisihkan oleh para ulama fikih dikarenakan ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang pelukan dan ciuman. [Hadits di atas disebutkan oleh al Harawi dalam Gharib al Hadits 1/171 dari ‘Iyyasy bin Abbas secara mursal]

أما إذا كان ذلك على غير الفم ، وعلى وجه البر والكرامة ، أو لأجل الشفقة عند اللقاء والوداع ، فلا بأس به.

Namun jika ciuman tersebut tidak pada mulut dan sebagai ungkapan penghormatan dan bakti atau untuk mengungkapkan rasa sayang saat bertemu ataupun berpisah maka hukumnya adalah boleh. [Ibnu Abidin 5/244, 246, al Binayah ‘ala al Hidayah 9/326, 327, Jawahir al Iklil 1/20, al Qolyubi 3/213 dan Hasyiah al Jamal ‘ala Syarh al Minhaj 4/126].

«د – تقبيل يد الظالم»

Mencium tangan orang yang zalim

صرح الفقهاء بعدم جواز تقبيل يد الظالم ، وقالوا : إنه معصية إلا أن يكون عند خوف ،

Para ulama pakar fikih menegaskan tentang tidak bolehnya mencium tangan orang yang zalim (semisal polisi yang zalim dst, preman dll, pent). Para ulama fikih mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat kecuali dalam kondisi khawatir dizalimi jika tidak mencium tangannya.

قال صاحب الدر : لا رخصة في تقبيل اليد لغير عالم وعادل ، ويكره ما يفعله الجهال من تقبيل يد نفسه إذا لقي غيره ، وكذلك تقبيل يد صاحبه عند اللقاء إذا لم يكن صاحبه عالما ولا عادلا ، ولا قصد تعظيم إسلامه ولا إكرامه .

Penulis kitab ad Durr mengatakan, ‘Tidak ada keringanan dalam mencium tangan seorang yang bukan ulama dan bukan orang yang shalih. Makruh hukumnya apa yang dilakukan oleh orang-orang awam yang mencium tangannya sendiri ketika berjumpa dengan orang lain. Demikian pula makruh hukumnya mencium tangan teman sendiri ketika berjumpa jika teman tersebut bukanlah seorang ulama ataupun orang yang shalih dan bukan karena maksud dengan menghormatinya atau menghormati statusnya sebagai seorang muslim. [ad Durr al Mukhtar dan Hasyiah Ibnu Abidin 5/245, 246, al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan Tuhfah al Ahwadzi 7/527].

«هـ – تقبيل الأرض بين يدي العلماء والعظماء»
تقبيل الأرض بين يدي العلماء والعظماء حرام ، والفاعل والراضي به آثمان ، لأنه يشبه عبادة الوثن ، وهل يكفر ؟ إن على وجه العبادة والتعظيم كفر ، وإن على وجه التحية لا ، وصار آثما مرتكبا للكبيرة ، كما صرح به صاحب الدر.

Mencium tanah di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan.

Mencium (baca: meletakkan mulut) di tanah (bukan, sujud-pent) di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan hukumnya haram. Pelaku dan orang yang rela diperlakukan demikian itu berdosa karena perbuatan ini menyerupai penyembahan terhadap berhala.
Apakah orang yang melakukannya menjadi kafir?

Perlu rincian:
a. Jika dalam rangka beribadah dan mengagungkkan orang yang ada di hadapannya maka pelakunya menjadi kafir.
b. Jika dengan maksud memberikan penghormatan maka tidak menjadi kafir, namun pelakunya berdosa karena telah melakukan dosa besar.

Rincian ini ditegaskan oleh penulis kitab ad Durr. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Ibnu Abidin 5/246 dan al Binayah Syarh al Hidayah 9/326 dan 327].

Sumber: Al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah juz 13 hal 129-131, cetakan kelima 1427 H, terbitan Depag Kuwait.
Dan dikutip dari http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/06/fikih-ciuman.html

Senin, 28 Juni 2010

Tafsir Ayat ‘Laa Ikraha Fiddiin’

Posted: 19 Jan 2010 02:49 PM PST

Allah Ta’ala berfirman,

لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah Ta’ala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mu’min dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أنتم أعلم بأمر دنياكم

“Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya‘. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?

Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Qur’an kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:
Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, ‘Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat’

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.
Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Sya’bi, Qatadah dan Adh Dhahhak.
Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Apakah kalian tidak mentadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qu’an bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Ta’ala adalah berserah diri kepada Allah Ta’ala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain. Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Ta’ala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Karena hanya Allah Ta’ala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Ta’ala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Ta’ala juga melarang kaum mu’minin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

Wabillahi At Taufiq.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Oezil Kuat karena Al-Quran

Catatan dari Afsel

Kemarin malam, saat Jerman bentrok lawan Inggris, kalau Anda sempat mengamati ketika lagu kebangsaan masing-masing negara diperdengarkan, pasti ada seorang pemain yang tampak diam saja. Dialah Mesut Oezil, pemain andalan Jerman keturunan Turki, yang seperti biasa terlihat bungkam sementara teman setimnya khusyuk menyanyikan lagu nasional. Lantas apa yang dilakukan Oezil dalam beberapa menit yang penuh emosional itu?

“Aku melafalkan dalam hati beberapa ayat suci Al-Quran. Dengan ayat (Al-Quran) itu aku seperti dapat ‘kekuatan’ lebih. Hati jadi tenang, tidak tegang. Jika aku tak melakukannya, perasaanku serasa tak nyaman, ada yang kurang,” ujar Oezil kepada Express, harian Jerman yang terbit di Koln.

Pemain yang membawa Timnas Jerman U-21 sebagai juara Eropa 2009 itu juga mengaku sewaktu masih berada di kamar ganti dia tak henti memanjatkan doa. Tak cukup disitu, sesaat sebelum pluit kick-off dibunyikan, Oezil pernah tertangkap kamera sedang menadahkan tangannya sambil komat kamit bermohon kepada Allah.

“Aku berdoa bagi diriku sendiri, bagi semua anggota tim agar diberikan kesehatan dan dimudahkan untuk bisa meraih sukses. Masalah nasionalisme jangan diperdebatkan lagi. Aku sudah cukup bangga dengan mendengarkan lagu kebangsaan Jerman,” tegas pemain berusia 22 tahun yang berposisi sebagai pengatur serangan di lini tengah.

Pemain yang mengidolakan Zinedine Zidane dan saat ini main bersama Werder Bremen itu, juga mengharamkan daging babi. Sebagai catatan, di Jerman babi adalah makanan harian, seperti daging lembu atau kambing di tempat kita. Kehidupan Mesut Oezil memang banyak dipengaruhi oleh keluarga ayahnya yang asli Turki. Bagi orang Jerman sendiri, agama adalah masalah pribadi. Umumnya tak berani mengusik terlalu jauh perihal keyakinan seseorang. Anggapan mereka, tiap orang punya ruang privasi dan cara sendiri dalam mengungkapkannya. Namun, bagi sebagian yang belum paham, tentu saja apa yang dilakukan Oezil sebagai hal yang tak biasa atau asing.

Kebiasaan Oezil, yang tak umum di mata orang Jerman itu, pertama kali terkuak tatkala dia melakoni debut bersama ‘Tim Panser’ di pertandingan persahabatan melawan Afrika Selatan, 5 September 2009 silam. Kala itu, Oezil yang dipercaya memegang ban kapten mencetak sebuah gol. Di Jerman, sontak figur Mesut Oezil jadi pembicaraan hangat. Media dan pengamat bola tak henti mengulasnya. Bahkan, dia diidolakan anak-anak muda, terutama Turki. Oezil jadi kebanggaan, karena belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah sepakbola Jerman ada orang Turki yang diberi peran lebih.

Franz Joseph Wagner, kolumnis harian terkemuka Jerman, Bild, menulis dalam kolomnya: “Siapa yang tak bangga dengan Oezil, bintang muda kesebelasan nasional. Ayahnya Turki dan ibu Jerman. Dibesarkan di Gelsenkirchen. Bukankah ini impian kita, melihat masa depan Jerman?”. “Unser Messi ist Özil, (Messi kami adalah Oezil)” kata Horst Hrubesch, mantan punggawa Jerman kala menjuarai Piala Eropa 1980 dan runner-up PD 1982, dalam satu wawancara dengan Bild. Mesut Oezil sendiri merupakan mantan anak didik Hrubesh di Timnas junior U-21. Nah, kabarnya ada sebagian warga Turki yang menanyakan kenapa Oziel tak memperkuat Timnas Turki saja, tanah leluhurnya.

“Saya sudah 40 tahun tinggal dan bekerja di Jerman. Oezil lahir dan besar di sini. Jerman adalah tanah air kedua bagi kami. Ada memang yang kecewa, kenapa tidak main untuk Turki yang negeri leluhurnya. Saking banyaknya yang tanya, dia pernah sampai harus memblok home page-nya,” ujar Mustafa, ayahanda Mesut Oezil seperti dikutip Express. “Mesut dalam bahasa Turki artinya ‘beruntung’,” imbuh Mustafa. Semoga begitu adanya!(zulkarnaen jalil)
www.serambinews.com

Terperdaya Oleh Nikmat

Posted: 28 May 2010 12:00 AM PDT

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang terlena dengan kenikmatan dunia. Di antara kenikmatan yang membuat banyak orang lupa akan jati diri dan tujuan hidupnya adalah nikmat kesehatan dan waktu luang. Terutama nikmat waktu, yang begitu banyak orang lalai memanfaatkannya dengan baik. Sehingga banyak sekali waktu mereka yang terbuang percuma bahkan menjerumuskan mereka ke dalam jurang bahaya.

Duduk di depan televisi seharian pun tak terasa, terhenyak sekian lama di hadapan berita-berita terbaru yang disajikan media massa sudah biasa, dan berjubel-jubel memadati stadion selama berjam-jam untuk menyaksikan pertandingan sepak bola atau konser grup band idola pun rela. Aduhai, alangkah meruginya kita tatkala waktu kehidupan yang detik demi detik terus berjalan menuju gerbang kematian ini kita lalui dengan menimbun dosa dan menyibukkan diri dengan perbuatan yang sia-sia.

Saudaraku, ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada dua buah nikmat yang kebanyakan orang terperdaya karenanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/258])

Saudaraku, sesungguhnya dunia ini merupakan ladang akherat. Di dalam dunia ini terdapat sebuah perdagangan yang keuntungannya akan tampak jelas di akherat kelak. Orang yang memanfaatkan waktu luang dan kesehatan tubuhnya dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah maka dialah orang yang beruntung. Adapun orang yang menyalahgunakan nikmat itu untuk bermaksiat kepada Allah maka dialah orang yang tertipu (lihat Fath al-Bari [11/259])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam menetapi kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti layaknya orang yang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan jauh.” (HR. Bukhari [6416] dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/263])

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang yang lima: [1] Masa mudamu sebelum masa tuamu, [2] masa sehatmu sebelum sakitmu, [3] masa kayamu sebelum miskinmu, [4] waktu luangmu sebelum sibukmu, dan [5] hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Hakim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/264], hadits ini disahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 486)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah sekedar kesenangan sementara, dan sesungguhnya akherat itulah negeri tempat tinggal yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 39)

Ada seorang yang bertanya kepada Muhammad bin Wasi’, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”. Maka beliau menjawab, “Bagaimanakah menurutmu mengenai seorang yang melampaui tahapan perjalanan setiap harinya menuju alam akherat?”. al-Hasan berkata, “Sesungguhnya dirimu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap kali hari berlalu, maka lenyaplah sebagian dari dirimu.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 482)

Sebagian orang bijak berkata, “Bagaimana bisa merasakan kegembiraan dengan dunia, orang yang perjalanan harinya menghancurkan bulannya, dan perjalanan bulan demi bulan menghancurkan tahun yang dilaluinya, serta perjalanan tahun demi tahun yang menghancurkan seluruh umurnya. Bagaimana bisa merasa gembira, orang yang umurnya menuntun dirinya menuju ajal, dan masa hidupnya menggiring dirinya menuju kematian.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 483)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Pria yang Meninggalkan Shalat Jama’ah Sungguh Merugi




Posted: 31 May 2010 08:00 AM PDT

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’ain.

Sungguh prihatin melihat kondisi umat Islam saat ini. Jika kita sedikit memalingkan pandangan ke masjid-masjid, kita akan menyaksikan bahwa rumah Allah yang ada sangat sedikit sekali dihuni oleh jama’ah ketika mu’adzin meneriakkan hayya ‘ala shalah. Berlatar belakang inilah, dalam risalah yang ringkas ini kami berusaha mendorong setiap orang yang membaca tulisan ini untuk melakukan shalat yang memiliki banyak keutamaan yaitu shalat berjama’ah. Semoga Allah selalu memberi hidayah dan taufik kepada kita sekalian.

Pertama: Shalat Jama’ah Memiliki Pahala yang Berlipat daripada Shalat Sendirian

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” [1]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً

“Shalat jama’ah itu senilai dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai pahala 50 shalat.” [2]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Kadang keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25 kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.” [3]

Kedua: Dengan Shalat Jama’ah Akan Mendapat Pengampunan Dosa

Dari ‘Utsman bin ‘Affan, beliau berkata bahwa saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

“Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian dia berjalan untuk menunaikan shalat wajib yaitu dia melaksanakan shalat bersama manusia atau bersama jama’ah atau melaksanakan shalat di masjid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”[4]

Ketiga: Setiap Langkah Menuju Masjid untuk Melaksanakan Shalat Jama’ah akan Meninggikan Derajatnya dan Menghapuskan Dosa; juga Ketika Menunggu Shalat, Malaikat Akan Senantiasa Mendo’akannya

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

“Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat. Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan mengatakan: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak berhadats. ” [5]

Keempat: Melaksanakan Shalat Jama’ah Berarti Menjalankan Sunnah Nabi, Meninggalkannya Berarti Meninggalkan Sunnahnya

Terdapat sebuah atsar dari dari ‘Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

“Barangsiapa yang ingin bergembira ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya. Karena Allah telah mensyari’atkan bagi nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi). Dan shalat jama’ah termasuk sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat.” [6]
Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika kalian melaksanakan shalat di rumah kalian yaitu melaksanakan shalat wajib sendirian atau melaksanakan shalat jama’ah namun di rumah (bukan di masjid) sehingga tidak nampaklah syi’ar Islam, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang yang betul-betul meremehkannya … , maka kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian yang memerintahkan untuk menampakkan syi’ar shalat berjama’ah. Jika kalian melakukan seperti ini, niscaya kalian akan sesat. Sesat adalah lawan dari mendapat petunjuk.” [7]

Catatan: Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah ini ditujukan bagi kaum pria, sedangkan wanita lebih utama shalat di rumahnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: ijma’ kaum muslimin).

Semoga dengan risalah yang singkat ini dapat mendorong kita untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Semoga masjid-masjid kaum muslimin dapat terisi terus dengan banyaknya jama’ah.

Pembahasan ini masih akan dilanjutkan dengan hukum shalat jama’ah. Semoga Allah memudahkan urusan ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****

Panggang, Gunung Kidul, 1 Robi’ul Akhir 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Minggu, 13 Juni 2010

Gol Carlos Vela offside atau tidak ? Kami jelaskan...!!!

Anda menyaksikan pertandingan Piala dunia antara tuan rumah Afsel dengan Mexico.
Pasti anda bertanya tanya tentang gol Carlos Vela...???

Gol Carlos Vela dalam laga pembuka Piala Dunia 2010 antara Afrika Selatan melawan Meksiko dianulir oleh wasit. Banyak dari penggila sepakbola sekaliber komentator RCTI yang bingung karena melihat jelas tidak adanya offside atau pelanggaran sebelum gol terjadi.

Salah satu peraturan paling mendasar dari FIFA mengenai offside berbunyi kurang lebih: Pemain dalam situasi menyerang tidak boleh lebih dekat dengan garis gawang tim lawan ketimbang pemain terakhir kedua tim lawan yang bertahan.

Coba saksikan video YouTube ini dan baca penjelasan sederhana kami di bawah.



Ok bila Anda telah saksikan video tersebut, coba baca penjelasan sederhana berikut:

Coba pembaca andaikan Steven Pienaar yang berdiri sendirian dekat tiang gawang adalah seorang kiper, sementara kiper Meksiko sesungguhnya Oscar Perez adalah seorang pemain belakang. Pengandaian ini hanya untuk memudahkan saja karena rata-rata penggila bola lebih terbiasa dengan situasi offside dimana kiper sebagai pemain terakhir, sedangkan dalam kasus ini, keadaan justru sebaliknya, sehingga terlihat tidak biasa.

Jadi saat bola disundul oleh Giovani dos Santos, kiper Meksiko (Oscar Perez) sebagai pemain terakhir kedua sudah terlebih dahulu maju, dan posisi Vela yang lebih dekat ke garis gawang ketimbang kiper Meksiko membuatnya berada dalam posisi offside.

Cerita mungkin berbeda bila Vela tidak menyentuh bola sama sekali, maka bila sundulan dari Santos masuk ke gawang, gol selayaknya tidak dianulir, karena Vela biar berada dalam posisi offside, tidak terlibat langsung permainan.

Atau bisa juga misalnya tendangan sudut tak sempat di sundul Santos dan bola langsung sampai kepada Vela dan menjadi gol, maka posisi Vela takkan disebut offside karena Vela menjadi orang pertama yang mengolah bola setelah tendangan sudut dilakukan.

Dapat gambarannya? :)

Jadi memang benar keputusan wasit, Carlos Vela offside, dan gol tidak sah.

Gara-Gara Begadang Nonton Bola

Posted: 11 Jun 2010 08:00 AM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sudah dimaklumi bersama bahkan sudah jadi berita di seantero dunia, selama sebulan penuh di benua hitam Afrika diadakan event akbar empat tahunan yaitu Piala Dunia. Dari kota, pedesaan bahkan sampai di pelosok negeri, kalangan muda bahkan sampai yang sudah “sepuh” sekali pun tidak ingin menghilangkan event yang jarang-jarang ini. Acara nonton bareng pun diadakan sambil minum kopi, juga bersorak-sorak mendukung tim kesayangan. Namun acara nonton piala dunia ini kadang melalaikan dari yang wajib-wajib, bahkan inilah yang sering terjadi. Tulisan ini nantinya akan membuktikan sebagian di antaranya. Kelalaian dari yang wajib ini terjadi karena piala dunia biasa ditayangkan di atas jam 9 malam, maka sudah barang tentu banyak penonton yang begadang. Dari sinilah banyak yang akhirnya lalai dari kewajiban shalat dan lainnya.

Kewajiban Shalat Dilalaikan

Tidak jarang kita melihat saudara kita yang begadang hingga tengah malam bahkan hingga jelang waktu shubuh karena menonton bergulirnya bola selama 2×45 menit. Setelah nonton, ia bukanlah memperhatikan kewajiban shalat. Namun karena rasa kantuk yang begitu berat, shalat shubuh yang merupakan kewajiban setiap harinya dilalaikan begitu saja karena badannya butuh istirahat selepas begadang. Shalat pun ditinggalkan tanpa rasa bersalah, tanpa ada rasa berdosa. Jika seseorang tahu bahaya meninggalkan shalat, maka tentu ia tidak akan meninggalkannya. Ia tidak akan meninggalkannya meskipun satu shalat saja.

Perlu kita ketahui bahwa meninggalkan satu shalat saja itu tergolong melakukan dosa besar. Bahkan dosa besarnya bukan seperti dosa besar lainnya karena yang ditinggalkan adalah rukun islam, yang merupakan penegak bangunan islam. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam golongkan dosa orang yang meninggalkan shalat –secara total- sebagai dosa kekafiran. Coba kita perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257). Ini berarti orang yang meninggalkan shalat secara total telah melakukan dosa kesyirikan dan kekufuran.

Sahabat yang mulia, ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada keislaman bagi orang yang meninggalkan shalat.”[1]

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa dosa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja termasuk kekafiran sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan seseorang kafir kecuali shalat.”[2]

Adapun jika seseorang meninggalkan satu shalat atau shalatnya bolong-bolong (kadang shalat, kadang tida), maka ia terjerumus dalam dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat. Inilah yang jadi konsensus (ijma’) para ulama. Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[3]

Bagi orang-orang yang sering melalaikan shalat, kadang shalat dan kadang tidak, Syaihul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pun telah memberikan nasehat berharga yang patut direnungkan yaitu, “Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat yang lima waktu. Mereka tidak meninggalkan shalat secara total, namun mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini berarti ada pada diri mereka keimanan dan kemunafikan sekaligus. Orang semacam itu tetap diperlakukan sebagai muslim secara lahiriyah seperti mereka masih tetap mendapat warisan. Hukum warisan bisa berlaku bagi orang munafik tulen, maka tentu saja lebih pantas berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.”[4]

Orang yang begadang (seperti karena nonton bola) sehingga lalai shalat shubuh sehingga bangun pagi kesiangan, bukanlah orang yang mendapat udzur. Berbeda halnya dengan orang yang sudah terbiasa shalat shubuh, lalu suatu saat ia ketiduran karena kecapekan atau alasan lainnya, maka inilah yang benar mendapat udzur. Ia tetap diperintahkan untuk shalat ketika ia ingat atau ketika ia bangun dari tidurnya. Meskipun ketika matahari sedang terbit atau matahari sudah meninggi, maka ia kerjakan shalat saat itu juga. Dalam sebuah hadits dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا فَإِذَا كَانَ الْغَدُ فَلْيُصَلِّهَا عِنْدَ وَقْتِهَا

“Jika seseorang ketiduran, itu bukanlah berarti ia lalai dari shalat. Yang disebut lalai adalah jika seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya. Jika ketiduran, hendaklah seseorang shalat ketika ia terbangun. Jika tiba esok hari, hendaklah ia shalat tepat pada waktunya (jangan sampai telat lagi).” (HR. Muslim no. 681). Hadits ini jelas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan seseorang boleh mengerjakan shalat ketika ia bangun tidur karena ketiduran, itu disebabkan suatu udzur. Berbeda halnya jika sudah jadi kebiasaan lembur atau begadang setiap harinya (disebabkan nonton bola atau lainnya), maka ini tentu saja bukan orang yang mendapati udzur. Wallahu a’lam.

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya sebagai berikut.

Pertanyaan pertama: Ada seseorang mengerjakan shalat shubuh setelah matahari terbit dan ini sudah jadi kebiasaannya setiap paginya dan hal ini sudah berlangsung selama dua tahun. Dia mengaku bahwa tidur telah mengalahkannya karena dia sering lembur. Dia mengisi waktu malamnya dengan menikmati hiburan-hiburan. Apakah sah shalat yang dilakukan oleh orang semacam ini?

Pertanyaan kedua: Apakah boleh kita bermajelis dan tinggal satu atap dengan orang semacam ini? Kami sudah menasehatinya namun dia tidak menghiraukan.

Jawab:

Diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat sampai ke luar waktunya. Wajib bagi setiap muslim yang telah dibebani syari’at untuk menjaga shalat di waktunya –termasuk shalat shubuh dan shalat yang lainnya-. Dia bisa menjadikan alat-alat pengingat (seperti alarm)  untuk membangunkannya (di waktu shubuh).

Kita diharamkan lembur di malam hari untuk menikmati hiburan dan semacam itu. Lembur (begadang) di malam hari telah Allah haramkan bagi kita jika hal ini melalaikan dari mengerjakan shalat shubuh di waktunya atau melalaikan dari shalat shubuh secara jama’ah. Hal ini terlarang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang begadang setelah waktu Isya’ jika tidak ada manfaat syar’i sama sekali.

(Perlu diketahui pula bahwa) setiap amalan yang dapat menyebabkan kita mengakhirkan shalat dari waktunya, maka amalan tersebut haram untuk dilakukan kecuali jika amalan tersebut dikecualikan oleh syari’at yang mulia ini.

Jika memang keadaan orang yang engkau sebutkan tadi adalah seperti itu, maka nasehatilah dia. Jika dia tidak menghiraukan, tinggalkan dan jauhilah dia.[5]

Pekerjaan Kantor pun Terabaikan

Orang yang sengaja begadang untuk nonton bola kadang juga kurang maksimal dalam mengemban tugas wajib di kantor. Gara-gara bola, ia harus memikul kantuk berat sehingga pekerjaan kantor atau dari atasan kurang maksimal ia kerjakan. Sebaik-baik orang beriman tentu saja selalu menjaga amanat yang dibebankan padanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan tidak perlu engkau membalas dengan mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud no. 3534, At Tirmidzi no. 1264, Ad Darimi no. 2597, Ahmad 3/414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Mata Bermaksiat dengan Melihat Aurat Orang Lain

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan dari aurat yang haram untuk dipandang. Di antara aurat yang tidak boleh dipandang adalah aurat sesama lelaki. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim no. 338)

Lalu manakah aurat laki-laki? Perlu diketahui, mayoritas ulama berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ

“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan)

Jika sudah paham demikian, maka tentu saja melihat aurat pemain bola di TV yang memakai celana di atas lutut adalah suatu yang terlarang. Renungkanlah!

Waktu Jadi Begitu Sia-sia

Yang satu ini juga sudah pasti, waktu begitu sia-sia dengan menonton bola. Waktu menonton adalah 2×45 menit, ditambah lagi extra time untuk istirahat. Bagaimana lagi jika tontonan ini dilihat hampir sebulan penuh sebagaimana pada piala dunia? Coba bayangkan berapa waktu yang terbuang sia-sia dalam sebulan. Bukankah waktu luang itu adalah nikmat? Nikmat ini pun akan ditanyakan oleh Allah di manakan dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang nikmat (yang dianugerahkan untukmu).” (QS. At Takatsur: 8). ‘Ikrimah mengatakan bahwa nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah nikmat sehat dan waktu luang.[6] Ini berarti nikmat waktu luang pun akan ditanyakan di manakah nikmat tersebut dihabiskan.

Dari sini kita dituntut untuk memanfaatkan waktu dalam kebajikan dan bukan dalam hal yang sia-sia, tidak bermanfaat apa-apa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2318, shahih lighoirihi)

Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian. Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[7]

Perlu diketahui bahwa begadang tanpa ada kepentingan dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[8] Apalagi dengan begadang dapat melalaikan dari kewajiban shalat wajib dan kewajiban pekerjaan di kantor tidak bisa maksimal. Renungkanlah dengan hati yang dalam!

Musuh Allah Jadi Idola

Yang juga penyakit parah yang menimpa para pecandu bola adalah kecintaan pada non muslim yang merupakan musuh Allah. Cobalah dilihat, manakah yang dibela ketika di antara dua klub atau negara yang bertanding, apakah yang didukung agamanya? Tidak sama sekali, yang didukung bukanlah agama. Pokoknya siapa yang lebih mahir dan lebih cantik dalam bermain itulah yang didukung. Walaupun itu musuh Allah sekalipun, itulah yang didukung, bahkan itulah yang jadi idola. Jika non muslim-lah yang dibela dan jadi idola, maka agamanya lama kelamaan pun bisa turut dibela. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah: 22).

Tidakkah kita renungkan bahwa seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang ia cintai dan yang dijadikan idola. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُحِبّ أَحَد قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْم الْقِيَامَة

“Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat nanti.”[9] Bagaimana jika yang dicintai dan diidolakan adalah pemain bola dan itu non muslim?! Semoga bisa jadi renungan! Cintailah para Nabi, para sahabat dan orang sholih, maka engkau akan bahagia berkumpul bersama mereka.

Ini hanyalah nasehat bagi siapa yang mau menerimanya. Tentunya yang kami inginkan hanyalah kebaikan bagi saudara-saudara kami. Karena kaum muslimin satu dan lainnya punya kewajiban untuk saling menasehati. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah” (QS. Hud: 88).

Hanya Allah yang beri taufik. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, 28 Jumadits Tsani 1431 H (11/06/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Senior di Usia Muda

BASTIAN SCHWEINSTEIGER


Usianya masih 25 tahun, tapi pengalaman BASTIAN SCHWEINSTEIGER lebih tua daripada usianya. Di klubnya Bayer Munchen BASTIAN SCHWEINSTEIGER merupakan pemain paling senior saat ini. BASTIAN SCHWEINSTEIGER sudah membela FC Holiwood julukan Bayern - sejak junior.



Tak berbeda jauh di timnas Jerman. Schweini, sapaan akrabnya sudah mencatatkan 73 caps dalam lima tahun terakhir. Sebagai pemain, skill Schweini sangat komplet. Shooting, heading, hingga set piece dikuasainya termasuk bisa bermain di beberapa posisi di tengah.


Basti sapaan akrab lain SCHWEINSTEIGER sekaligus pemain dinamis yang bisa berbergerak dari sentral permainan maupun sayap. Kendati pemain dengan kaki kanan dia kerap diposisikan sebagai winger kiri. Dengan kelincahan dan visinya. Schwensteiger dianggap bakal punya peran signifikan dan semakin matang di Piala Dunia 2010 ini.


Satu sisi negatif dari Schwensteiger adalah karakternya yang dulit dikontrol. Semasa Euro 2008, dia menuai kartu merah saat melawan Krosia. Dan akhirnya Jerman takluk 1-2. Semasa Munchen ditangani Felix Magath musim 2004-2005 Schweini sempat dimasukkan dalam tim cadangan karena dianggap mbalelo.