Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya
dan para pengikutnya.
Dalam kesempatan kali ini kita akan membahas seputar shalat-shalat
sunnah (tathawu’ atau naafilah). Kami hanya akan membahas secara ringkas
setiap jenis shalat sunnah, yaitu dengan menyebutkan dalil yang
mensyari’atkannya, tatacaranya, serta beberapa keterangan tambahan yang
kami pandang perlu. Sebagian pembaca mungkin telah mengetahui atau
mengamalkan sebagian atau seluruh dari shalat-shalat sunnah. Namun,
tidak ada salahnya kita muraja’ah (baca: mengingat) kembali materi ini
supaya ilmu dan amal kita semakin kokoh dan mantab.
Pendahuluan
Di antara rahmat Allah kepada hambaNya yaitu, Allah mensyari’atkan
bagi setiap amalan wajib dengan amalan sunnah yang sejenis. Hal ini
supaya orang mukmin bertambah imannya dengan mengerjakan amalan sunnah
dan menyempurnakan amalan wajib pada hari kiamat, karena
kewajiban-kewajiban yang kita kerjakan kemungkinan ada yang kurang.
Shalat ada yang wajib dan ada yang sunnah, puasa ada yang wajib dan ada
yang sunnah, demikian pula haji, sedekah dan lainnya, dan hendaknya
seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan
yang sunnah-sunnah sehingga Allah mencintainya [1].
Shalat sunnah ada dua macam:
Pertama, shalat sunnah muqoyyad adalah shalat sunnah yang terikat
dengan waktu-waktu tertentu seperti shalat kusuf, shalat istisqa’,
shalat tarawih, shalat witir dan lainnya.
Kedua, shalat sunnah mutlaq adalah shalat sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu.
Berikut ini penjelasan secara ringkas shalat-shalat tersebut:
1. Shalat Sunnah Rawatib
Kita mulai dengan shalat sunah rawatib. Shalat sunnah rawatib adalah
shalat sunnah yang menyertai shalat fardhu, baik sebelum atau
setelahnya. Termasuk shalat sunnah yang ditekankan untuk dikerjakan dan
dimakruhkan untuk ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya secara terus
menerus menunjukkan kelemahan agamanya.
Jumlah shalat rawatib yang ditekankan dalam sehari –semalam ada 10
rekaat. Salah satu dalil yang mensyari’atkannya adalah hadist riwayat
Ibnu Umar,” Saya menghafal dari Rasulullah 10 rekaat, dan dua rekaat
sebelum dhuhur, dua rekaat setelahnya, dan dua rekaat setelah magrib di
rumah, dan dua rekaat setelah isya’ di rumah, dua rekaat sebelum subuh,
dan itu adalah waktu yang hendaknya tidak bertamu kepada Nabi, Hasfshoh
memberitahuku bahwa jika muadzin telah adzan dan fajar telah terbit maka
beliau shalat dua rekaat” [2]. Hadist ini juga sekaligus memberi
perincian yang jelas tentang pelaksanaan shalat sunnah rawatib.
Sunnah rawatib yang paling mu’akkad (baca: sangat ditekankan) adalah
dua rakaat fajar dan sunnahnya dipersingkat. Setelah membaca fatihah
pada rakaat pertama disunnahkan membaca surat al-Kafirun, dan pada
rakaat kedua membaca surat al-Ikhlas [3]
2. Shalat Witir
Salah satu dalil disyariatkannya shalat witir adalah hadist riwayat
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Dari setiap (bagian) malam
Rasulullah berwitir, di awalnya, di tengahnya, diakhirnya, dan selesai
witirnya di waktu sahur “[4]. Hadist juga sekaligus menjelaskan bahwa
boleh shalat witir disetiap bagian malam, tidak harus di akhir malam.
Adapun jumlah rekaatnya minimal satu rekaat tetapi hendaknya
didahului shalat yang lain. Kadang Rasulullah witir dengan tiga, lima,
tujuh atau sembilan rekaat. Maksimal rekaatnya sebelas atau tiga belas
rekaat berdasar riwayat ‘Aisyah [5]. Disunnahkan membaca surat al A’la
pada rekaat pertama, surat al Kafirun pada rekaat kedua dan surat al
Ikhlash pada rekaat ketiga. Disunnahkan pula membaca qunut setelah rukuk
dalam shalat witir, yaitu dengan mengangkat tangan sambil berdoa ”
Allahumahdiniy fii man hadait..dst (do’a qunut witir) ” [6].
3. Shalat Tarawih
Shalat tarawih termasuk shalat sunnah yang ditekankan (muakkadah),
yang dikerjakan di bulan Ramadhan. Dinamakan shalat tarawih karena
orang-orang duduk istirahat antara setiap empat rakaat, karena mereka
memanjangkan bacaan. Dalil pensyariatannya adalah Sabda Nabi shalallahu
‘alaihi wassallam, “Barangsiapa berdiri (shalat) dibulan Ramadhan karena
iman dan mengharap pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”
[7]. Tidak ada masalah shalat tarawih dengan 23 raka’at atau 11 raka’at.
4. Shalat Dhuha
Cukup banyak riwayat tentang shalat dhuha. Salah satunya adalah
hadist dari Abu Hurairah dia berkata, “Kekasihku (Nabi Muhammad) memberi
wasiat kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari di tiap bulan, dua rekaat
shalat dhuha dan witir sebelum tidur” [8]. Waktu diperbolehkannya
shalat dhuha dimulai sejak naiknya matahari setelah terbit sekitar satu
tombak dan berakhir menjelang waktu dhuhur tiba.
5. Shalat ‘Ied
Yaitu shalat yang dikerjakan saat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.
Disebut ‘Ied karena berulang setiap tahun. Shalat ‘Ied disyariatkan
berdasar al Qur’an, as Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Allah berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah . (QS. al Kautsar: 2)
Allah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (QS. al
A’la: 14-15)
Ayat pertama berkaitan dengan ‘Iedul Adha, ayat kedua berkaitan
dengan ‘Iedul Fitri. Pertama kali Rasulullah melaksanakan shalat ‘Iedul
fitri di tahun ke 2 hijriah dan beliau senantiasa mengerjakannya sampai
beliau wafat. Begitu juga Khulafa’ arrasyidin setelah beliau juga
senantiasa mengerjakannya. Tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan juga
diperintakkan untuk menghadiri shalat ied asal tidak memakai wewangian
dan pakaian yang dapat menimbulkan fitnah.
Hendaknya shalat ied dilaksanakan di lapangan atau area terbuka,
berdasar hadist, dahulu Nabi keluar di hari iedul Fitri dan iedul Adha
ke mushola (lapangan untuk shalat) [9]. Disunnakan mengawalkan shalat
iedul Adha dan mengakhirkan shlat iedul Fitri. Salah satu hikmahnya
memperlonggar waktu menyembelih qurban dan zakat fitrah. Disunnahkan
makan sebelum shalat di iedul Fitri dan tidak makan di hari iedul Adha
berdasar sabda Rasulullah, dahulu Rasulullah tidak keluar shalat di hari
iedul Fitri sampai makan (sesuatu) dan tidak makan di hari iedul Adha
sampai selesai shalat [10].Tidak disyariatkan adzan dan iqomah
sebelumnya. Disunnahkan takbir tujuh kali setelah takbiratul ihram di
rekaat pertama, dan takbir lima kali direkaat kedua. Disyariatkan
setelahnya imam berkhutbah.
6. Shalat kusuf dan khusuf /gerhana matahari dan bulan
Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا
تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي
خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari
dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah
Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah. (QS. Fushilat:
37)
Shalat kusuf disunnakan dan ditekankan sesuai ijma’ ahli ilmu.
Gerhana adalah salah satu ayat-ayat Allah yang dengannya Allah
menakut-nakuti hambaNya, Allah berfirman,
نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلاَّ تَخْوِيفاً
Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti. (QS. al Isra’: 59)
Dalil yang mensyari’atkannya adalah berdasarkan hadist Nabi bahwa di
telah terjadi gerhana matahari di hari meninggalnya Ibrahim (putra
Rasulullah). Lalu manusia mengatakan bahwa terjadi gerhana karena
meninggalnya Ibrahim. Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya matahari
dan bulan termasuk salah satu ayat-ayat Allah, tidak terjadi gerhana
karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya (gerhana)
maka bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan Shalat “[11]. Shalat
dimulai sejak gerhana sampai selesai gerhana. Adapun tatacaranya yaitu
dengan dua rekaat, dengan empat kali rukuk dan empat kali berdiri
(membaca al fatihah dan surat yang panjang) sebagaimana hadist ‘Aisyah
[12].
7. Shalat Istisqa’
Istisqa’ adalah minta hujan kepada Allah subhaanahu wata’ala.
Disyariatkan istisqa’ jika hujan tidak lama turun dan bumi dilanda
kekeringan. Hukum shalat istisqa’ adalah sunnah muakkadah. Dalil
pensyariatannya sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari sahabat
Abdullah bin Zaid, dia berkata: “Nabi keluar beristisqa’, lalu menghadap
kiblat dan berdoa, dan membalik selendangnya. Lalu shalat dua rekaat
dan mengeraskan bacaannya.” [13]
Adapun tatacara shalat istisqa’, tempat pelaksanaan, dan
hukum-hukumnya serupa dengan shalat Ied. Dikerjakan dua rekaat,
disunnahkan dikerjakan di mushola (tanah lapang), disunnakan takbir
tambahan di rekaat pertama dan kedua sebelum membaca al Fatihah,
bacaannya dikeraskan. Disunnakan dilanjutkan dengan nasehat dan khutbah
(tanpa duduk). Sebagian ulama berpendapat khutbah didahulukan sebelum
shalat dan dilakukan dua kali (diselingi duduk).
8. Shalat Sunnah Mutlaq
Disunnahkan pula melakukan shalat sunnah pada setiap waktu baik malam
maupun siang kecuali di waktu-waktu yang terlarang. Waktu-waktu
terlarang tersebut ada lima waktu yaitu:
Pertama, setelah terbit fajar kedua sampai terbit matahari, kecuali
shalat subuh dan rawatibnya . Sebagaimana hadist Ibnu Umar , Rasulullah
bersabda, “jika fajar telah terbit maka tidak ada shalat kecuali dua
rekaat fajar” [14].
Kedua, setelah matahari terbit sampai ia meninggi sekitar satu
tombak. Uqbah bin Amir berkata, “Tiga waktu yang mana Rasulullah
melarang shalat padanya atau mengubur mayit padanya: saat terbit
matahari sampai meninggi, saat tengah siang sampai matahari bergeser,
saat matahari mulai terbenam sampai sempurna terbenam” [15].
Ketiga, matahari tepat ditengah langit sampai ia bergeser [16].
Keempat, setelah shalat ashar sampai magrib. Tidak ada shalat setelah
fajar sampai matahariterbit, dan tidak ada shalat setelah ashar sampai
matahar terbenam [17].
Kelima, saat matahari mulai tenggelam sampai tenggelam sempurna [18].
Shalat tahajjud, atau qiyamullail termasuk shalat sunnah mutlaq, ia
sunnah mu’akkadah. Qiyamul lail merupakan amal yang paling utama, ia
lebih utama daripada shalat sunnah di siang hari karena di waktu sepi
lebih ikhlas kepada Allah, dan karena beratnya meninggalkan tidur [19].
Paling utama dikerjakan di sepertiga malam terakhir. Allah berfirman
tentangnya,
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk)
dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (QS. Al Muzzammil: 6)
Semoga bermanfaat, sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rosulullah serta keluarga dan sahabatnya.
Tulisan ini banyak mengambil faedah dari kitab Mulakhos Fiqhiyah
karangan Syaikh DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan
hafidzahullah ta’ala.
Selesai ditulis di Riyadh, 2 Jumadil Awwal 1432 H (6 April 2011)
Abu Zakariya Sutrisno
Artikel: www.thaybah.or.id / www.ukhuwahislamiah.com
Notes:
[1]. Lihat buku shalat-shalat sunnah, oleh Syaikh Muhammad bin
Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijry, diterjemahkan oleh Ust Eko Abu Ziad
[2]. Bukhari (1180), Muslim (729)
[3]. Idem no. 1
[4]. Bukhari (996), Muslim (745)
[5]. Muslim (736)
[6]. Dari hadist Hasan bin Ali, Abu Dawud (1425), Tirmidzi (464), Nasa’I (1745), Ibnu Majah (1178)
[7]. Dari hadist Abu Hurairah, Bukhari (37), Muslim (759)
[8]. Bukhari (1178), Muslim (721)
[9]. Bukhari (956), Muslim (889)
[10]. Ahmad (5/352), Ibnu Majah (1756), Tirmidzi (542), Ibnu Khuzaimah (1426)
[11]. Bukhari (1041,1057,3204), Muslim (911)
[12]. Bukhari (1046)
[13]. Bukhari (1024), Muslim (894)
[14]. Ahmad (4695), Abu Dawud (1278), Tirmidzi (419)
[15]. Muslim (831)
[16]. Idem no 15
[17]. Dari hadist Abu Sa’id al Khudri, Bukhari (586), Muslim (827)
[18]. Idem no 15
[19]. Idem no. 1
sukron akh.....
BalasHapus