Minggu, 07 Agustus 2011

Sholat-sholat sunnah (Khutbah Tarawih Hari 7)

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya dan para pengikutnya.
Dalam kesempatan kali ini kita akan membahas seputar shalat-shalat sunnah (tathawu’ atau naafilah). Kami hanya akan membahas secara ringkas setiap jenis shalat sunnah, yaitu dengan menyebutkan dalil yang mensyari’atkannya, tatacaranya, serta beberapa keterangan tambahan yang kami pandang perlu. Sebagian pembaca mungkin telah mengetahui atau mengamalkan sebagian atau seluruh dari shalat-shalat sunnah. Namun, tidak ada salahnya kita muraja’ah (baca: mengingat) kembali materi ini supaya ilmu dan amal kita semakin kokoh dan mantab.

Pendahuluan
Di antara rahmat Allah kepada hambaNya yaitu, Allah mensyari’atkan bagi setiap amalan wajib dengan amalan sunnah yang sejenis. Hal ini supaya orang mukmin bertambah imannya dengan mengerjakan amalan sunnah dan menyempurnakan amalan wajib pada hari kiamat, karena kewajiban-kewajiban yang kita kerjakan kemungkinan ada yang kurang. Shalat ada yang wajib dan ada yang sunnah, puasa ada yang wajib dan ada yang sunnah, demikian pula haji, sedekah dan lainnya, dan hendaknya seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan yang sunnah-sunnah sehingga Allah mencintainya [1].
Shalat sunnah ada dua macam:
Pertama, shalat sunnah muqoyyad adalah shalat sunnah yang terikat dengan waktu-waktu tertentu seperti shalat kusuf, shalat istisqa’, shalat tarawih, shalat witir dan lainnya.
Kedua, shalat sunnah mutlaq adalah shalat sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu.
Berikut ini penjelasan secara ringkas shalat-shalat tersebut:
1. Shalat Sunnah Rawatib
Kita mulai dengan shalat sunah rawatib. Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang menyertai shalat fardhu, baik sebelum atau setelahnya. Termasuk shalat sunnah yang ditekankan untuk dikerjakan dan dimakruhkan untuk ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya secara terus menerus menunjukkan kelemahan agamanya.
Jumlah shalat rawatib yang ditekankan dalam sehari –semalam ada 10 rekaat. Salah satu dalil yang mensyari’atkannya adalah hadist riwayat Ibnu Umar,” Saya menghafal dari Rasulullah 10 rekaat, dan dua rekaat sebelum dhuhur, dua rekaat setelahnya, dan dua rekaat setelah magrib di rumah, dan dua rekaat setelah isya’ di rumah, dua rekaat sebelum subuh, dan itu adalah waktu yang hendaknya tidak bertamu kepada Nabi, Hasfshoh memberitahuku bahwa jika muadzin telah adzan dan fajar telah terbit maka beliau shalat dua rekaat” [2]. Hadist ini juga sekaligus memberi perincian yang jelas tentang pelaksanaan shalat sunnah rawatib.
Sunnah rawatib yang paling mu’akkad (baca: sangat ditekankan) adalah dua rakaat fajar dan sunnahnya dipersingkat. Setelah membaca fatihah pada rakaat pertama disunnahkan membaca surat al-Kafirun, dan pada rakaat kedua membaca surat al-Ikhlas [3]
2. Shalat Witir
Salah satu dalil disyariatkannya shalat witir adalah hadist riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Dari setiap (bagian) malam Rasulullah berwitir, di awalnya, di tengahnya, diakhirnya, dan selesai witirnya di waktu sahur “[4]. Hadist juga sekaligus menjelaskan bahwa boleh shalat witir disetiap bagian malam, tidak harus di akhir malam.
Adapun jumlah rekaatnya minimal satu rekaat tetapi hendaknya didahului shalat yang lain. Kadang Rasulullah witir dengan tiga, lima, tujuh atau sembilan rekaat. Maksimal rekaatnya sebelas atau tiga belas rekaat berdasar riwayat ‘Aisyah [5]. Disunnahkan membaca surat al A’la pada rekaat pertama, surat al Kafirun pada rekaat kedua dan surat al Ikhlash pada rekaat ketiga. Disunnahkan pula membaca qunut setelah rukuk dalam shalat witir, yaitu dengan mengangkat tangan sambil berdoa ” Allahumahdiniy fii man hadait..dst (do’a qunut witir) ” [6].
3. Shalat Tarawih
Shalat tarawih termasuk shalat sunnah yang ditekankan (muakkadah), yang dikerjakan di bulan Ramadhan. Dinamakan shalat tarawih karena orang-orang duduk istirahat antara setiap empat rakaat, karena mereka memanjangkan bacaan. Dalil pensyariatannya adalah Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam, “Barangsiapa berdiri (shalat) dibulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [7]. Tidak ada masalah shalat tarawih dengan 23 raka’at atau 11 raka’at.
4. Shalat Dhuha
Cukup banyak riwayat tentang shalat dhuha. Salah satunya adalah hadist dari Abu Hurairah dia berkata, “Kekasihku (Nabi Muhammad) memberi wasiat kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari di tiap bulan, dua rekaat shalat dhuha dan witir sebelum tidur” [8]. Waktu diperbolehkannya shalat dhuha dimulai sejak naiknya matahari setelah terbit sekitar satu tombak dan berakhir menjelang waktu dhuhur tiba.
5. Shalat ‘Ied
Yaitu shalat yang dikerjakan saat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Disebut ‘Ied karena berulang setiap tahun. Shalat ‘Ied disyariatkan berdasar al Qur’an, as Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Allah berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah . (QS. al Kautsar: 2)
Allah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (QS. al A’la: 14-15)
Ayat pertama berkaitan dengan ‘Iedul Adha, ayat kedua berkaitan dengan ‘Iedul Fitri. Pertama kali Rasulullah melaksanakan shalat ‘Iedul fitri di tahun ke 2 hijriah dan beliau senantiasa mengerjakannya sampai beliau wafat. Begitu juga Khulafa’ arrasyidin setelah beliau juga senantiasa mengerjakannya. Tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan juga diperintakkan untuk menghadiri shalat ied asal tidak memakai wewangian dan pakaian yang dapat menimbulkan fitnah.
Hendaknya shalat ied dilaksanakan di lapangan atau area terbuka, berdasar hadist, dahulu Nabi keluar di hari iedul Fitri dan iedul Adha ke mushola (lapangan untuk shalat) [9]. Disunnakan mengawalkan shalat iedul Adha dan mengakhirkan shlat iedul Fitri. Salah satu hikmahnya memperlonggar waktu menyembelih qurban dan zakat fitrah. Disunnahkan makan sebelum shalat di iedul Fitri dan tidak makan di hari iedul Adha berdasar sabda Rasulullah, dahulu Rasulullah tidak keluar shalat di hari iedul Fitri sampai makan (sesuatu) dan tidak makan di hari iedul Adha sampai selesai shalat [10].Tidak disyariatkan adzan dan iqomah sebelumnya. Disunnahkan takbir tujuh kali setelah takbiratul ihram di rekaat pertama, dan takbir lima kali direkaat kedua. Disyariatkan setelahnya imam berkhutbah.
6. Shalat kusuf dan khusuf /gerhana matahari dan bulan
Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah. (QS. Fushilat: 37)
Shalat kusuf disunnakan dan ditekankan sesuai ijma’ ahli ilmu. Gerhana adalah salah satu ayat-ayat Allah yang dengannya Allah menakut-nakuti hambaNya, Allah berfirman,
نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلاَّ تَخْوِيفاً
Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti. (QS. al Isra’: 59)
Dalil yang mensyari’atkannya adalah berdasarkan hadist Nabi bahwa di telah terjadi gerhana matahari di hari meninggalnya Ibrahim (putra Rasulullah). Lalu manusia mengatakan bahwa terjadi gerhana karena meninggalnya Ibrahim. Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan termasuk salah satu ayat-ayat Allah, tidak terjadi gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya (gerhana) maka bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan Shalat “[11]. Shalat dimulai sejak gerhana sampai selesai gerhana. Adapun tatacaranya yaitu dengan dua rekaat, dengan empat kali rukuk dan empat kali berdiri (membaca al fatihah dan surat yang panjang) sebagaimana hadist ‘Aisyah [12].
7. Shalat Istisqa’
Istisqa’ adalah minta hujan kepada Allah subhaanahu wata’ala. Disyariatkan istisqa’ jika hujan tidak lama turun dan bumi dilanda kekeringan. Hukum shalat istisqa’ adalah sunnah muakkadah. Dalil pensyariatannya sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid, dia berkata: “Nabi keluar beristisqa’, lalu menghadap kiblat dan berdoa, dan membalik selendangnya. Lalu shalat dua rekaat dan mengeraskan bacaannya.” [13]
Adapun tatacara shalat istisqa’, tempat pelaksanaan, dan hukum-hukumnya serupa dengan shalat Ied. Dikerjakan dua rekaat, disunnahkan dikerjakan di mushola (tanah lapang), disunnakan takbir tambahan di rekaat pertama dan kedua sebelum membaca al Fatihah, bacaannya dikeraskan. Disunnakan dilanjutkan dengan nasehat dan khutbah (tanpa duduk). Sebagian ulama berpendapat khutbah didahulukan sebelum shalat dan dilakukan dua kali (diselingi duduk).
8. Shalat Sunnah Mutlaq
Disunnahkan pula melakukan shalat sunnah pada setiap waktu baik malam maupun siang kecuali di waktu-waktu yang terlarang. Waktu-waktu terlarang tersebut ada lima waktu yaitu:
Pertama, setelah terbit fajar kedua sampai terbit matahari, kecuali shalat subuh dan rawatibnya . Sebagaimana hadist Ibnu Umar , Rasulullah bersabda, “jika fajar telah terbit maka tidak ada shalat kecuali dua rekaat fajar” [14].
Kedua, setelah matahari terbit sampai ia meninggi sekitar satu tombak. Uqbah bin Amir berkata, “Tiga waktu yang mana Rasulullah melarang shalat padanya atau mengubur mayit padanya: saat terbit matahari sampai meninggi, saat tengah siang sampai matahari bergeser, saat matahari mulai terbenam sampai sempurna terbenam” [15].
Ketiga, matahari tepat ditengah langit sampai ia bergeser [16].
Keempat, setelah shalat ashar sampai magrib. Tidak ada shalat setelah fajar sampai matahariterbit, dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahar terbenam [17].
Kelima, saat matahari mulai tenggelam sampai tenggelam sempurna [18].
Shalat tahajjud, atau qiyamullail termasuk shalat sunnah mutlaq, ia sunnah mu’akkadah. Qiyamul lail merupakan amal yang paling utama, ia lebih utama daripada shalat sunnah di siang hari karena di waktu sepi lebih ikhlas kepada Allah, dan karena beratnya meninggalkan tidur [19]. Paling utama dikerjakan di sepertiga malam terakhir. Allah berfirman tentangnya,
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (QS. Al Muzzammil: 6)
Semoga bermanfaat, sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rosulullah serta keluarga dan sahabatnya.
Tulisan ini banyak mengambil faedah dari kitab Mulakhos Fiqhiyah karangan Syaikh DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan hafidzahullah ta’ala.
Selesai ditulis di Riyadh, 2 Jumadil Awwal 1432 H (6 April 2011)
Abu Zakariya Sutrisno
Artikel: www.thaybah.or.id / www.ukhuwahislamiah.com
Notes:
[1]. Lihat buku shalat-shalat sunnah, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijry, diterjemahkan oleh Ust Eko Abu Ziad
[2]. Bukhari (1180), Muslim (729)
[3]. Idem no. 1
[4]. Bukhari (996), Muslim (745)
[5]. Muslim (736)
[6]. Dari hadist Hasan bin Ali, Abu Dawud (1425), Tirmidzi (464), Nasa’I (1745), Ibnu Majah (1178)
[7]. Dari hadist Abu Hurairah, Bukhari (37), Muslim (759)
[8]. Bukhari (1178), Muslim (721)
[9]. Bukhari (956), Muslim (889)
[10]. Ahmad (5/352), Ibnu Majah (1756), Tirmidzi (542), Ibnu Khuzaimah (1426)
[11]. Bukhari (1041,1057,3204), Muslim (911)
[12]. Bukhari (1046)
[13]. Bukhari (1024), Muslim (894)
[14]. Ahmad (4695), Abu Dawud (1278), Tirmidzi (419)
[15]. Muslim (831)
[16]. Idem no 15
[17]. Dari hadist Abu Sa’id al Khudri, Bukhari (586), Muslim (827)
[18]. Idem no 15
[19]. Idem no. 1

1 komentar: